PURWOKERTO - Anggota Komisi III DPR RI Rikwanto menyatakan harus ada regulasi terkait dengan penggunaan akal imitasi atau artificial intelligence (AI) dalam kehidupan sehari.
Ditemui setelah menjadi narasumber dalam Seminar Nasional bertajuk "RUU KUHAP: Solusi atau Masalah Baru dalam Penegakan Hukum di Indonesia" di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (26/6), dia mengatakan akal imitasi di satu sisi merupakan anugerah. Tetapi di sisi lain, kata dia, akal imitasi bisa menjadi masalah jika penggunaannya tidak betul-betul bertanggung jawab.
"Karena seseorang tidak melakukan sesuatu, dengan AI seolah-olah melakukan sesuatu. Seseorang tidak mengatakan sesuatu, (dengan) AI bisa mengatakan sesuatu," serunya.
Menurut dia, pembahasan masalah penggunaan akal imitasi nantinya akan masuk dalam bukti digital. Dalam hal ini, dia mencontohkan orang yang mempermasalahkan seseorang dan yang bersangkutan memiliki bukti digital
"Bukti digital itu akan diproses, apakah meniru atau tidak, apakah bisa jadi bukti atau tidak. Nanti di KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) akan dibahas juga," kata mantan Kapolda Kalimantan Selatan itu.
Disinggung mengenai kemungkinan diperlukannya regulasi tersendiri terkait penggunaan AI, dia mengatakan masalah peraturan tentang akal imitasi itu ada pada Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Menurut dia, regulasi tersebut dapat digunakan sebagai referensi untuk mengurai jika ada unsur-unsur pidananya.
Oleh karena itu, kata dia, Komisi III DPR RI yang membidangi masalah hukum, hak asasi manusia, dan keamanan akan berkoordinasi dengan Kementerian Komdigi terkait regulasi penggunaan akal imitasi.
"Ada nanti, harus koordinasi," kata Rikwanto menegaskan.
Literasi Media
Sebelumnya, pengamat komunikasi Unsoed Dr Edi Santoso juga memandang perlu adanya regulasi yang mengatur penggunaan akal imitasi untuk kehidupan sehari-hari.
"Sangat perlu adanya regulasi terkait penggunaan akal imitasi karena AI ini pertumbuhan dan perkembangannya sangat cepat," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (13/6).
Ia mengatakan, ketika masyarakat masih dipusingkan oleh penyebaran hoaks konvensional yang dilakukan dengan sekadar merekayasa judul berita dan tangkapan layarnya dibagikan melalui media social. Sekarang muncul kebohongan yang makin sulit diidentifikasi karena menggunakan akal imitasi.
Dalam hal ini, kata dia, video maupun audio dapat dibuat dengan menggunakan teknologi akal imitasi. "Itu semakin sulit untuk diidentifikasi asli atau tidaknya, terutama bagi orang-orang yang tidak memiliki atau tingkat literasi medianya rendah," katanya menegaskan.
Oleh karena itu, kata dia, regulasi terkait penggunaan akal imitasi sangat mendesak untuk segera disusun mengingat adanya isu-isu lain yang bisa berkaitan dengan permasalahan tersebut seperti hak cipta dan sebagainya. Menurut dia, hal itu karena saat sekarang karya-karya seni begitu mudah direplikasi dengan menggunakan akal imitasi.
"Pertumbuhan di sisi ini (akal imitasi, red.) begitu cepat, tetapi regulasi yang mengaturnya tertatih-tatih, sangat lambat. Jadi saya kira regulasi mengenai penggunaan AI ini sangat mendesak," kata Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Unsoed itu.