Search

Logo Light

Keluar dari Periskop?

Sign Out Cancel

Pemerintah Upayakan Tarif Resiprokal Produk Furnitur Dihilangkan

JAKARTA - Pemerintah berupaya agar kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) terhadap produk furnitur dan kerajinan asal Indonesia bisa dihilangkan. Hal ini disampaikan Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso.

Budi menjelaskan, saat ini semua produk furnitur yang masuk ke negara AS dikenakan tarif sektoral sebesar tiga persen. Apabila, tarif resiprokal AS sebesar 32% diberlakukan, maka produk furnitur akan terkena tarif 35%.

"Makanya kita minta supaya resiprokal hilang. Kalau hilang berarti kan tetap tiga persen. Sekarang selama 90 hari hanya dikenakan baseline 10%, jadi 10 tambah tiga ya," ujar Budi dalam peresmian Indonesia International Furniture Expo (IFEX) 2026 dikutip dari Antara, Rabu (21/5).

Menurut Budi, saat ini pemerintah masih terus melakukan negosiasi terhadap tarif resiprokal. Untuk ekspor furnitur dan kerajinan ke AS, nilainya mencapai US$1,64 miliar. Di sisi lain, pemerintah juga sedang menggodok deregulasi terkait dengan ekspor dan impor guna memberikan kemudahan untuk berusaha.

Lebih lanjut, deregulasi ini nantinya dapat mendorong ekspor, termasuk produk furnitur dan kerajinan agar bisa masuk 10 besar dunia.

Saat ini Indonesia berada pada urutan ke-20 sebagai negara eksportir furnitur dan kerajinan dengan nilai mencapai US$2,43 miliar. Menurutnya, angka tersebut bisa digenjot, salah satunya dengan deregulasi.

"Jadi kalau bisa ya 10 besar. Sekarang coba kita pelajari masalahnya apa. Kita itu kan lagi membuat deregulasi, tidak hanya impor, deregulasi ekspor juga kita lakukan, termasuk deregulasi kemudahan berusaha di bidang perdagangan," katanya.

Dalam rancangan deregulasi ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah melakukan diskusi bersama asosiasi dan juga Kementerian Kehutanan agar produk turunan kayu seperti furnitur dan kerajinan tidak membutuhkan dokumen V-Legal atau lisensi ekspor produk kayu.

Menurutnya, dokumen tersebut sebaiknya hanya digunakan untuk negara-negara yang membutuhkan V-Legal saja seperti di Uni Eropa.

"Kita sudah mengusulkan, sudah diskusi tapi belum selesai supaya ekspor di luar UK dan Uni Eropa itu sifatnya tidak wajib. Kecuali eksportir menginginkan ya silahkan, tetapi khusus produk furnitur dan kerajinan. Tujuannya apa, agar kita mudah ya, birokrasi kita lebih mudah ekspor, kemudian persyaratan juga mudah," imbuh Budi.

Mendag menyampaikan persyaratan tidak wajib V-Legal ini bertujuan untuk mempermudah ekspor furnitur dan kerajinan, sehingga lebih banyak pelaku usaha khususnya mikro, kecil dan menengah (UMKM) tidak terbebani dengan biaya tambahan.

Selain itu, Indonesia juga harus mengejar ketertinggalan ekspor dari negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia. Oleh karena itu, perlu dilakukan deregulasi kebijakan ekspor dan impor.

"Biar UMKM ini tidak terbebani biaya, kemudian waktu pengurusannya dan sebagainya, sehingga kita lebih efisien, kita lebih punya daya saing untuk menghadapi pesaing-pesaing seperti Vietnam," imbuhnya.

Data Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Himpunan Mebel Industri dan Kerajinan Indonesia (Himki) total nilai ekspor furnitur Indonesia mencapai US$2,5 miliar pada 2024 dan US$2,46 miliar pada 2023. Tahun ini, ekspor furnitur ditargetkan naik menjadi US$5 miliar.

Negara tujuan ekspor furnitur, antara lain Amerika Serikat (53,2%), Jepang (6,04%), Belanda (4,48%), Jerman (3,73%) dan Belgia (2,87%) pada 2024.

Baca Juga
Ikuti Periskop Di
Reporter : Joko Priyono
Penulis : Tiamo Braudmen
Editor : Eka Budiman
rendi_widodo
rendi_widodo
Penulis
No biography available.