JAKARTA - Pemerintah yang tengah mengejar ambisi untuk menjadi pemain utama rantai pasok kendaraan listrik (EV) dunia melakukan berbagai cara, mulai dari percepatan hilirisasi nikel hingga meningkatkan target investasi dan produksi kendaraan listrik dengan mengkaji ulang regulasi seperti pelonggaran Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Namun, untuk mencapai ambisi itu, ada sejumlah tantangan yang perlu mendapat perhatian. Pertama, harga nikel terus menurun akibat banjir pasokan dan tren pengembangan teknologi baterai yang mulai meninggalkan nikel beberapa tahun terakhir.
Dikutip dari Antara, Minggu (18/5), Al Ayubi, Policy Strategist di Yayasan Indonesia Cerah (CERAH) mengemukakan bahwa sejak larangan ekspor bijih nikel Indonesia diberlakukan, investasi di sektor hilirisasi memang meningkat pesat, terutama dari China, dengan produksi nikel melonjak dari 358 ribu ton pada 2017 menjadi 2,2 juta ton tahun 2023.
Namun kebijakan tersebut membuat pasokan nikel berlebih membanjiri pasar global, menyebabkan harga nikel merosot ke level terendah dalam tiga tahun terakhir. Saat ini, harga nikel berada di kisaran US$16 ribu dibanding rata-rata US$25 ribu pada 2022.
Pada saat yang sama, teknologi baterai terus berkembang. Baterai lithium iron phosphate (LFP), yang tidak memerlukan nikel, semakin diminati karena lebih murah dan lebih stabil. Beberapa perusahaan seperti Tesla, perlahan mulai beralih ke teknologi ini.
Jika tren tersebut berlanjut, permintaan nikel global bisa menurun, membuat investasi besar-besaran di industri nikel menjadi kurang relevan.
Kemudian, industri nikel di Indonesia saat ini didominasi oleh perusahaan China yang banyak dikritik karena praktik lingkungan yang buruk dan kurangnya transparansi. Dari 54 smelter yang beroperasi, 77,2%-nya masih menggunakan captive power plant yang didominasi PLTU batu bara, yang kita tahu menciptakan emisi karbon tinggi.
Di sisi lain, pabrikan otomotif besar seperti Tesla dan Volkswagen terus menjauh dari isu ini dengan semakin selektif mencari pemasok bahan baku dan memilih berdasarkan rekam jejak Environmental, Social, Governance (ESG) yang baik untuk menjaga reputasi perusahaan mereka.
Uni Eropa, sebagai pasar potensial di masa perang dagang AS-China saat ini, telah menetapkan regulasi yang semakin ketat terkait rantai pasok bahan baku kendaraan listrik termasuk baterai ramah lingkungan melalui kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dan pengesahan EU Battery Regulation, yang mewajibkan transparansi sumber bahan baku dan kepatuhan terhadap standar ESG yang tinggi.
Tanpa menanggapi serius penyesuaian pada pasar-pasar ini, nikel Indonesia hanya akan mentok bermain di pasar standar rendah yang juga menawarkan harga rendah.
Pemerintah berharap dengan mendorong hilirisasi, permintaan nikel dalam negeri akan meningkat. Namun sejauh ini, pangsa pasar EV di Indonesia masih di bawah 5%.
Jajak pendapat PwC menyebut, minimnya infrastruktur pengisian daya, tingginya harga EV, dan insentif yang kurang agresif menjadi alasan permintaan tetap lemah. Berarti, tanpa pasar domestik yang kuat, industri nikel masih akan bergantung pada ekspor.
Kebergantungan pada ekspor ini dengan standar ESG rendah dan dominasi perusahaan China dalam hilirisasi, ambisi Indonesia kini dalam dilema besar. Jika tidak segera berbenah, bangsa ini hanya akan menjadi penonton dalam perlombaan industri kendaraan listrik global.
Jika Indonesia ingin mempertahankan daya saing dalam industri nikel global, beberapa langkah mendesak harus dilakukan.
Pertama, menyelaraskan standar ESG domestik dengan regulasi global. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) baru-baru ini mengusulkan standar ESG domestik dengan alasan, standar global tidak sesuai dengan kondisi di dalam negeri.
Namun, ide ini perlu dikaji lebih lanjut, mengingat pengalaman di sektor kelapa sawit menunjukkan, standar domestik yang tidak selaras dengan global sulit diterima.
Standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) gagal mendapatkan pengakuan luas dan tetap kalah dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) karena dianggap terlalu umum.
Jika skenario yang sama dilakukan di sektor nikel, maka standar ESG yang dibuat APNI dikhawatirkan menjadi kebijakan internal tanpa punya pengaruh bagi pasar internasional.
Jika membaca lagi Panduan ESG yang disusun KADIN (2023), terlihat bahwa semangat keberlanjutan dalam praktik ESG bukan cuma stempel regulasi, tetapi penentu strategis dalam mengakses pasar global yang lanskapnya terus berkembang.
Karena itu, aspek transparansi dan keterlibatan pemangku kepentingan yang selama ini kurang diterapkan di industri nikel Indonesia menjadi aspek kunci menghadapi pasar yang kian sadar akan produk hijau.
Dengan kata lain, jika ingin menjadi pemain utama, pemerintah harus memastikan bahwa standar ESG yang akan diterapkan di Indonesia dapat diterima di pasar global.
Kedua, mengembangkan teknologi dan inovasi dalam hilirisasi. Indonesia harus berani dan konsisten menaikan kapasitasnya lebih dari sekadar pemasok bahan baku. Karena itu, investasi dalam riset dan pengembangan infrastruktur perlu digencarkan.
Dari sisi hulu misalnya, pemerintah perlu mendorong industri ini bisa ditopang oleh sumber energi yang benar-benar hijau, dengan mengurangi porsi captive power plant dari PLTU batu bara, sehingga klaim “nikel untuk transisi energi” menjadi akurat.
Ketiga, memperkuat geliat pasar domestik. Insentif kendaraan listrik harus lebih agresif untuk mentransformasi sektor transportasi yang masih dipenuhi keraguan di benak publik.
Salah satu upayanya dengan mempercepat pembangunan infrastruktur hilir untuk mendukung masyarakat dalam mengadopsi EV.
Saat ini, infrastruktur pendukung EV masih belum tersedia merata. Rasio antara Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dengan jumlah kendaraan yang aktif di jalan berkisar 1:21, dengan mayoritas SPKLU berada di pulau Jawa dan terbatas di kota-kota besar seperti Jakarta dan Tangerang.
Lokasi-lokasi SPKLU yang dibangun pemerintah pun dirasa masih kurang strategis, terutama untuk kendaraan listrik roda dua, yang jumlahnya paling banyak digunakan masyarakat kelas menengah.
Pemerintah perlu mengubah pendekatan dari sekadar melakukan hilirisasi menjadi strategi jangka panjang yang mengutamakan keberlanjutan dan daya saing global.
Di tengah menurunnya persediaan nikel dalam negeri akibat eksploitasi yang tidak terarah, ambisi Indonesia menjadi pusat manufaktur EV dunia akan sulit diwujudkan tanpa ada konsistensi dan sinergi dalam kebijakan hulu-hilir, terlebih jika standar ESG global terus diabaikan.
Waktunya tidak banyak. Regulasi ESG yang kredibel, investasi dalam inovasi, dan penguatan pasar domestik adalah kunci jika Indonesia ingin tetap relevan di industri kendaraan listrik dunia.
Sedang Hangat
Menjaga Relevansi Indonesia di Pasar Nikel Dunia Lewat Berbenah Standar ESG

Baca Juga
Reporter
:
Joko Priyono
Penulis
:
Tiamo Braudmen
Editor
:
Eka Budiman

rendi_widodo
Penulis
No biography available.
Topik Terkait
Komentar
(2)