JAKARTA - Angin segar berhembus ketika Rabu (9/4/2025) sore waktu AS, Presiden AS Donald Trump mengumumkan penundaan selama 90 hari atas tarif resiprokal ke berbagai negara mitra dagang, namun tetap menaikkan bea masuk kepada China sebesar 125%.
Negara yang rencananya akan dikenakan tarif resiprokal lebih tinggi hanya dikenakan tarif dasar sebesar 10%, yang mana untuk baja, aluminium, dan mobil akan sama.
Trump mengatakan sudah ada lebih dari 75 negara yang siap bernegosiasi dengan AS, di sisi lain, pihaknya akan tetap meninjau kemungkinan menaikkan tarif di sektor farmasi.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia Fakhrul Fulvian mengatakan, momentum penundaan kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) selama 90 hari kecuali untuk China, harus dimanfaatkan. terutama untuk melakukan konsolidasi terkait dengan kebijakan perdagangan, terutama dengan AS.
“Dengan adanya perang dagang, peluang re-shoring dari beberapa negara yang diekspektasikan akan terkena dampak lebih besar dari Indonesia seperti Vietnam, Bangladesh, China dan Thailand bisa dioptimalkan,” ujar Fakhrul seperti dikutip dari Antara di Jakarta, Kamis (10/4).
Ia menuturkan, industri seperti tekstil garmen, sepatu dan furnitur bisa menjadi industri yang memiliki prospek positif untuk Indonesia. Terkait dengan hal ini, lanjut dia, kebijakan deregulasi untuk perizinan usaha dan kemudahan ekspor harus dipercepat.
Di sisi neraca dagang dengan Amerika Serikat, peluang untuk meningkatkan impor dari Amerika Serikat terkait dengan sektor perminyakan, bahan kimia serta bahan pangan merupakan poin negosiasi yang perlu dimaksimalkan.Selain itu, Fakhrul menuturkan, perubahan tingkat komponen dalam negeri menjadi hal penting untuk dilakukan secepatnya, karena banyak perusahaan Amerika Serikat yang ingin berinvestasi di Indonesia, terhambat karena hal ini.
“Ke depannya, kita harus sadar volatilitas adalah hal yang jamak terjadi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia, termasuk Indonesia akan mengalami perlambatan di tahun 2025,” ujarnya.
Dengan adanya tensi perang dagang, ia menuturkan seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat Indonesia dan dunia usaha harus terus mendukung sirkulasi ekonomi domestik Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia mempersiapkan sejumlah paket negosiasi yang akan dibawa ke perundingan untuk menghadapi kebijakan tarif timbal balik atau resiprokal AS di Washington D.C. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (7/4), menilai jalur diplomasi dipilih sebagai solusi yang saling menguntungkan tanpa mengambil langkah retaliasi terhadap kebijakan tarif resiprokal tersebut.
Namun, Pemerintah Indonesia akan melakukan pertemuan lebih dulu dengan pimpinan negara-negara ASEAN pada 10 April 2025 untuk menyamakan sikap.
Penambahan Impor
Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai rencana penambahan impor dari AS dapat menjadi strategi jangka pendek Indonesia dalam menghadapi tarif resiprokal 32% yang digagas Presiden AS Donald Trump.
Meski sempat menuai kekhawatiran akan memperlebar defisit anggaran, Indonesia sejatinya membutuhkan sejumlah komoditas yang diproduksi oleh AS seperti kapas, minyak bumi, gas alam cair (LNG), jagung, dan gandum di mana tren kebutuhannya terus meningkat.
“Kita membutuhkan banyak produk yang tidak kita produksi dan mereka diproduksi oleh AS, misalnya kapas, minyak bumi, gas alam cair (LNG), jagung, dan gandum. Saat ini tren kebutuhan meningkat, memposisikan AS sebagai supplier utama adalah seperti sekali mengayuh dua pulau terlampaui, " kata Wijayanto.
Selain memenuhi kebutuhan dalam negeri, impor tersebut juga bakal mempersempit defisit perdagangan AS terhadap Indonesia, sehingga dapat menjadi pertimbangan saat proses negosiasi tarif nantinya. Sebagaimana diketahui, langkah ini muncul sebagai respons atas tekanan yang semakin intens dari AS dalam memperkecil defisit perdagangannya.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI, pada 2024 Indonesia mencatatkan surplus perdagangan sebesar US$14,34 miliar dengan AS. Surplus itu sebagian besar berasal dari ekspor mesin dan perlengkapan elektrik, pakaian dan aksesori pakaian, serta alas kaki.
Sementara dari sudut pandang AS, data mereka menunjukkan defisit perdagangan dengan Indonesia yang mencapai US$17,9 miliar tahun lalu. Dalam kerangka kebijakan Presiden AS Donald Trump yang ingin menyeimbangkan neraca perdagangan dan anggaran negara, negara-negara dengan surplus besar, termasuk Indonesia, dalam posisi rawan terkena tarif tambahan.
Lebih lanjut, Wijayanto memandang pendekatan negosiasi yang tengah disiapkan Pemerintah Indonesia sebagai langkah yang realistis. Paket negosiasi yang disiapkan termasuk revitalisasi Perjanjian Kerja Sama Perdagangan dan Investasi (TIFA) serta deregulasi hambatan non-tarif (NTMs) seperti pelonggaran tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk produk teknologi dari AS.
Saat ini, menurut dia, target Trump adalah menurunkan defisit anggaran AS menjadi lebih seimbang. “Saat ini budget deficit AS mencapai US$1,2 triliun; seperti ia janjikan dalam pidato di State of the Union beberapa waktu yang lalu,” jelasnya.
Ia bahkan menggarisbawahi adanya “pembagian tugas” tidak formal antara Trump dan Elon Musk, yang mana Trump bertugas meningkatkan pendapatan melalui kebijakan tarif, sedangkan Musk melalui Department of Government Efficiency (DOGE) ditugaskan memangkas belanja negara.
“Jika Trump realistis dan Indonesia sukses bernegosiasi, Reciprocal Tariff yang akan diterapkan kepada Indonesia bisa jadi akan di angka sekitar 20%,” tambah Wijayanto.
Sebagaimana diketahui, AS menargetkan tambahan penerimaan sekitar US$0,7 triliun per tahun dari kebijakan tarif.
Adapun dari kelompok negara yang disebut 'The Dirty 15' oleh Gedung Putih, negara-negara dengan surplus perdagangan terbesar terhadap AS diharapkan berkontribusi besar melalui tambahan tarif sekitar 10%.