JAKARTA - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai penetapan tarif dagang Amerika Serikat (AS) sebesar 19 % terhadap Indonesia, menjadi momentum untuk beralih ke energi baru terbarukan (EBT).
Hal ini menyusul pernyataan Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif impor senilai 19% terhadap produk-produk Indonesia yang masuk ke negaranya, dengan syarat Indonesia berkomitmen membeli energi dari AS hingga US$15 miliar.
"Dengan outlook pelebaran defisit migas, sudah saatnya Indonesia mempercepat transisi dari ketergantungan fosil," kata Bhima saat dihubungi di Jakarta, Rabu (16/7).
Bhima mengatakan, potensi pelebaran defisit migas dapat menekan kurs rupiah dan menyebabkan postur subsidi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 untuk energi meningkat tajam.
"Alokasi subsidi energi 2026 yang sedang diajukan pemerintah adalah Rp203,4 triliun, tentu tidak cukup. Setidaknya butuh Rp300-320 triliun. Apalagi ketergantungan impor BBM dan LPG makin besar," kata Bhima.
Ia menilai ketergantungan impor minyak sudah membebani APBN. Karena itu, ada kekhawatiran ujungnya Indonesia harus beli minyak dari AS lebih mahal dari harga pasar karena terikat hasil negosiasi dagang.
"Kalau Indonesia disuruh beli produk minyak dan LPG tapi harganya di atas harga yang biasa dibeli Pertamina, repot juga. Ini momentum semua program transisi energi harus jalan agar defisit migas bisa ditekan," ujar dia.
Selain mulai mempertimbangkan transisi energi, Bhima juga mengatakan penerapan tarif ini juga menjadi momentum bagi Indonesia, untuk mengeksplorasi pasar ekspor baru, contohnya di Uni Eropa hingga negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
Ada harapan terkait peningkatan kerja sama dan relaksasi sejumlah aturan untuk melakukan ekspor ke kawasan Eropa. Hal ini menyusul Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA) yang akhirnya disepakati setelah 10 tahun negosiasi.
"Pemerintah sebaiknya mendorong akses pasar ke Eropa sebagai bentuk diversifikasi pasar paska IEU-CEPA disahkan. Begitu juga dengan pasar intra-ASEAN bisa didorong. Jangan terlalu bergantung pada ekspor ke AS karena hasil negosiasi tarif tetap merugikan posisi Indonesia," ujar Bhima.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan, tarif impor senilai 19% akan diberlakukan terhadap produk-produk Indonesia yang masuk ke AS, berdasarkan negosiasi langsung yang dilakukannya dengan Presiden RI Prabowo Subianto.
Nilai baru tersebut menunjukkan telah tercapai kesepakatan untuk menurunkan tarif impor AS untuk produk Indonesia dari angka 32 % yang diumumkan pertama kali oleh Trump pada April lalu. Namun, Trump mengatakan Indonesia berjanji akan membebaskan semua halangan tarif dan non-tarif bagi produk AS yang masuk ke RI.
Apabila ada produk dari negara ketiga dengan tarif lebih tinggi yang akan diekspor ke AS melalui Indonesia, tarif 19% itu akan ditambahkan pada produk tersebut.
Selain penetapan nilai tarif, kesepakatan yang diteken antara Trump dan Prabowo juga mencakup komitmen RI membeli energi dari AS senilai US$15 miliar dan produk agrikultur senilai US$4,5 miliar, serta 50 jet Boeing.
Siap Impor
Sebelum ksepakatan tercapai, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sendiri sejatinya sudah menyebut, Kementerian ESDM telah mengalokasikan dana sebesar US$10 miliar hingga US$15 miliar, untuk mengimpor energi dari Amerika Serikat apabila terjadi kesepakatan penurunan tarif resiprokal.
"Kami dari ESDM sudah mengalokasikan sekitar US$10 miliar sampai US$15 miliar untuk belanja di Amerika. Kalau tarifnya juga diturunkan, kalau nggak berarti kan nggak ada deal dong," ujarnya di Jakarta, Senin.
Sementyara itu, Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Todotua Pasaribu menyampaikan, Indonesia memiliki posisi strategis yang tecermin dari turunnya tarif resiprokal Amerika Serikat terhadap Indonesia.
"Kalau saya lihat, secara strategis di wilayah Asia Tenggara ini yang signifikan sangat turun. Artinya, Amerika Serikat pun sangat mempertimbangkan keberadaan Indonesia," ucap Todotua, Rabu.
Pernyataan tersebut terkait dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menyatakan tarif impor senilai 19% akan diberlakukan terhadap produk-produk Indonesia yang masuk ke AS, berdasarkan negosiasi langsung yang dilakukannya dengan Presiden RI Prabowo Subianto. Tarif tersebut turun drastis dari yang sebelumnya ditetapkan sebesar 32%.
Pembaharuan tarif resiprokal AS terhadap produk Indonesia sekaligus menyebabkan Indonesia menjadi negara dengan tarif resiprokal AS terendah kedua di ASEAN setelah Singapura, yang dikenakan sebesar 10%. Dengan demikian, tarif resiprokal Indonesia menjadi lebih rendah apabila dibandingkan dengan Vietnam (20%), Filipina (20%), Malaysia (25%), Brunei Darussalam (25%), Thailand (36%), Kamboja (36%), Myanmar (40%), dan Laos (40%).
Adapun terkait dengan hasil negosiasi, dalam hal ini pembelian komoditas energi dari Amerika Serikat, Todotua menyampaikan masih tahap pembicaraan. Todotua juga menjelaskan bahwa saat ini, Indonesia belum berencana untuk menambah investasi di Amerika Serikat.
"Kami sedang konsolidasi karena kan beritanya baru," kata Todotua.